Sifat Allah dan Ujian Keimanan


 


Bismillahirrahmaanirrahiim.


Umumnya manusia tidak suka jika dirinya diuji; dalam bentuk apapun. Contoh paling mudah ialah ujian yang dihadapi para pelajar. Mayoritas pelajar kurang suka menghadapi ujian, bahkan banyak yang merasa tegang (nervous). Begitu pula, ujian-ujian dalam kehidupan umum, cenderung kurang disukai; apakah ia berupa kemiskinan, kegagalan, patah hati, sakit yang menimpa, gagal panen, PHK, kecelakaan, dll.


Tetapi, sudah menjadi sunnatullah, bahwa Allah Ta’ala akan menguji manusia dengan ujian-ujian. Dalam Al Qur’an disebutkan: “Kullu nafsin dza-iqatul maut, wa nablukum bis syar-ri wal-khairi fitnah, wa ilaina turja’un” (setiap yang hidup akan merasakan mati, dan Kami uji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan, dan kepada Kami-lah kalian akan dikembalikan). [Al Anbiyaa’: 35].


Kehidupan Tak Lepas dari Gelombang Ujian

Ujian ini bukan untuk mempersulit manusia, mempersempit dada dan kehidupannya, atau membuatnya frustasi; tetapi justru untuk memperkuat dirinya, memperbaiki sifat-sifatnya, meninggikan rasa syukurnya atas nikmat Allah, serta mengangkat derajatnya dalam kehidupan. Tidak berlebihan jika dalam riwayat disebutkan, manusia yang paling berat diuji adalah para Nabi dan Rasul ‘Alaihimussalam, kemudian para ulama, para shalihin, dan seterusnya. Hal ini menandakan, bahwa semakin berat beban ujian semakin tinggi pula derajat manusia dalam pandangan Allah Ta’ala.


TELADAN NABI IBRAHIM

Lihatlah sosok Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam. Beliau diuji dengan perintah (melalui mimpi) untuk menyembelih putranya sendiri. Padahal beliau sangat mencintai putranya, bahkan beliau pernah merasakan tekanan jiwa yang sangat pelik ketika harus meninggal putranya dalam keadaan masih bayi bersama ibunya, di lembah lembah Bakkah (Makkah) yang disifati dengan perkataan “bi waadin ghairi dzi zar’in” (di sebuah lembah yang tidak ada tanam-tanaman padanya). [Lihat Surat Ibrahim: 37]. Namun ketika beliau berhasil melewati ujian paling pelik dalam sejarah manusia ini, beliau pun mendapat pujian sangat tinggi dari Allah Ta’ala.


Dalam Al Qur’an disebutkan: “Wa tarakna ‘alaihi fil akhirin, salamun ‘ala Ibrahim, ka dzalika naj-zil muhsinin, innahu min ‘ibadinal mu’miniin” [Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) di kalangan manusia-manusia di kemudian hari, keselamatan bagi Ibrahim, demikianlah Kami memberi balasan orang-orang yang berbuat ihsan, dan sesungguhnya Ibrahim termasuk di antara hamba-hamba Kami yang beriman]. Surat As Shaffat: 108-111. Nabi Ibrahim mendapat julukan Khalilullah (kekasih Allah) salah satunya ialah karena ketabahan-ketabahannya menghadapi ujian Allah.


Ujian meskipun tidak disukai manusia, tetapi ia memiliki maksud-maksud baik. Bahkan lewat ujian itu akan terbukti, apakah keimanan seseorang benar-benar mantap atau masih goyang? Keimanan Yusuf ‘Alaihissalam tidak goyang karena menghadapi aneka konspirasi, penjara, dan tipu-daya. Begitu juga, komitmen Sayyid Quthb rahimahullah terhadap hukum Allah tidak melemah karena penjara dan siksaan.


Atas hal-hal seperti inilah, Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya: “Ahasiban naas ai-yutrakuu ai-yaqulu a-manna wa hum laa yuftanuun? Wa laqad fatan-nal ladzina min qablihim falaya’lamannallahu alladzina shadaqu wa laya’lamannal kadzibin” (apakah manusia itu akan Kami biarkan begitu saja mengatakan ‘kami telah beriman’, padahal mereka belum diuji? Dan benar-benar Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, agar Allah mengetahui siapa di antara mereka yang benar –dalam keimanannya- dan agar Dia mengetahui siapa dari mereka yang berdusta). [Al Ankabuut: 2-3].


Sebagai seorang Muslim, kita tidak boleh phobia menghadapi ujian-ujian Allah; namun juga tidak boleh menyombongkan diri, dengan merasa kuat dan sabar, lalu menantang agar Allah mendatangkan ujian kepada kita. Diceritakan, pernah Imam Al Ghazali rahimahullah merasa telah sabar dan mampu menghadapi ujian, lalu beliau meminta diuji oleh Allah. Lalu dia mendapat ujian dengan tidak mampu buang air kecil. Dengan ujian itu, beliau menyerah dan merasa sangat hina (di hadapan Allah Ta’ala). Konon, begitu besarnya rasa penyesalan beliau sehingga meminta anak-anak kecil untuk memukuli wajahnya. Wallahu a’lam bisshawaab.


UJIAN SEORANG MUSLIM

Ujian yang kita hadapi dalam hidup ini bertingkat-tingkat, sesuai kadar keimanan, keilmuan, dan kesabaran. Bagi anak kecil, mereka diuji dengan perasaan malas untuk mengerjakan shalat. Bagi anak remaja, mereka diuji dengan godaan pornografi, rokok, dan vandalisme. Bagi para pemuda, mereka digoda dengan seks bebas, miras, narkoba. Bagi para suami, mereka diuji dengan selingkuh, prostitusi, berjudi. Bagi para eksekutif mereka diuji dengan hedonisme dan dugem. Bagi para pejabat dan pegawai negara, mereka diuji dengan korupsi, pengkhianatan amanah, serta kebohongan publik. Bagi para pemimpin, mereka diuji dengan tawaran-tawaran menggiurkan untuk menjual bangsa, menggadaikan kedaulatan, serta menjadi mesin penjajahan asing. Bagi para aktivis LSM, mahasiswa, politisi, dan intelektual, mereka diuji dengan ajakan menjadi antek-antek orang kafir. Para ustadz dan ulama diuji dengan popularitas, amplop tebal, investasi dermawan, jumlah kaum pendukung, serta kedengkian antar sesama orang alim. Dan bermacam-macam contoh ujian lain. Beragam bentuknya, berbeda-beda sasarannya. (Nas’alullah al ‘afiyah lana wa lakum wa li auladina jami’an, fid dini wad dunya wal akhirah. Amin ya Rabbal ‘alamiin).


Ketika seorang pemuda Muslim menolak melakukan zina, itu sangat bagus; ketika dia menolak minuman keras, itu oke sekali; ketika dia menolak korupsi, itu sangat elok; ketika dia membenci berjudi, alhamdulillah; ketika dia tidak mau membunuh manusia secara bathil, masya Allah baik sekali; ketika dia tidak terlibat praktik rentenir, itu yang diharapkan; ketika dia tidak terlibat korupsi, duh indahnya; ketika dia tidak menggadaikan idealisme, amboi cantik nian; dan seterusnya. Alhamdulillah, ketika kita diberi taufik oleh Allah Ta’ala untuk melompati ujian-ujian tersebut.


Namun masalahnya, apakah untuk menjadi manusia SHALIH, ujian akan berhenti sampai di masalah-masalah itu? Ternyata, tidak. Kita masih akan menghadapi ujian-ujian lain yang bisa jadi lebih besar. Sekedar catatan saja, siapa yang meragukan keshalihahan Maryam binti ‘Imran ‘Alaihimassalam? Siapa yang meragukan keimanan Bunda Nabi ‘Isa ‘Alaihissalam itu? Tak ada kan. Namun tetap saja Maryam mendapat ujian berat, sehingga suatu saat beliau berkata dengan penuh rasa pilu: “Yaa laitaniy mittu qabla hadza, wa kuntu nasyan mansiya” (aduhai, andai saja aku mati sebelum ini, lalu diriku menjadi sesuatu yang dilupakan begitu saja). [Maryam: 23]. Logikanya, kalau untuk insan semulia dan sesuci Maryam ‘Alaihassalam saja masih diuji, lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita lebih mulia dari Maryam, sehingga tidak perlu lagi menerima ujian dari Allah? Tentu kita lebih layak “dibersihkan dari dosa” dengan datangnya ujian.


UJIAN TERKAIT SIFAT ALLAH

Salah satu bentuk ujian dalam Islam yang kemudian banyak membuat manusia tersesat dari jalan yang lurus, ialah terkait dengan Sifat-Sifat Allah Ta’ala. Banyak aliran-aliran teologi menyimpang dari mainstream Ahlus Sunnah, bermula dari kesesatan ketika memahami Sifat-Sifat Allah. Disana ada kaum Mu’tazilah, Syiah, Jahmiyah, ‘Asyariyah, Mujassimah, kaum zindiq, dan lainnya. Juga muncul kaum Qadariyyah dan Jabbariyyah, kaum Khawarij dan Murji’ah. Mereka semua ini rata-rata salah paham dengan Sifat-Sifat Allah, dalam hal ushul (pokok) atau furu’ (cabang), atau kedua-duanya.


Ujian keimanan dalam hal ini lebih rumit dari ujian berupa zina, miras, perjudian, ribawi, membunuh manusia, atau tindak-tindak kriminal. Sebab yang disentuh dalam ujian ini adalah hal-hal yang sangat halus, seperti: Logika akal, prasangka di dasar hati, sifat fanatic golongan, kebanggaan kaum, derajat keilmuwan di mata manusia, dan sebagainya. Sangat halus dan peka, sehingga yang tersesat langkah dalam menghadapi ujian ini umumnya dari kalangan orang-orang shalih, ahli ibadah, para ustadz, kaum alim-ulama, para masyaikh, dan sebagainya. Sebagai contoh, tidak sedikit ulama, ahli hadits, ahli fiqih, dan lainnya, mereka memilih ajaran ‘Asyariyah karena merasa bahwa paham itu memiliki pendapat yang lebih memuaskan akal ketika berbicara tentang Sifat-Sifat Allah. Singkat kata, urusan yang kita hadapi ini bukan perkara kecil; tetapi ia merupakan masalah besar dan sangat serius.


Lalu, inti masalahnya dimana?


Dalam Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallah ‘Alaihi Wassalam, sering disebutkan seputar Sifat-Sifat Allah. Sifat-Sifat itu bukan seperti Al Hakim (Maha Bijaksana), Al ‘Aziz (Maha P   erkasa), Al ‘Alim (Maha Tahu), Al Wahid (Maha Esa), Al Halim (Maha Lembut), dan semisal-Nya. Tetapi Sifat-Sifat Allah yang dimaksud ialah seperti: “Sifat Tangan, Wajah, Ketinggian, Istiwa’ di Atas Arasy, Turun ke Langit Dunia, Jari, Betis,  Tertawa, dan sebagainya.”


Mengapa Sifat-Sifat itu kemudian menjadi ujian? Sebab ia sering dan banyak disebut dalam ayat-ayat Al Qur’an dan As Sunnah. Karena sering disebutkan, jelas kita tidak bisa menutup mata, pura-pura tidak tahu, atau melarikan diri dari semua itu. Ya, kita harus menghadapi semua itu sebagai konsekuensi dari ayat berikut: “Udkhulu fis silmi kaaffah” (masuklah kalian ke dalam agama ini secara kaaffah). [Al Baqarah: 208].


Terkait Sifat-Sifat Allah itu, ada sebagian manusia terjerumus dalam golongan Muathilah, yaitu mereka yang menolak Sifat-Sifat Allah; ada golongan Jahmiyyah atau zindiq yang meniadakan Sifat Allah; ada golongan ‘Asyariyyah yang menakwilkan Sifat-Sifat Allah; ada golongan Syiah yang mencampur-adukkan Sifat Allah dengan sifat-sifat imam mereka; ada golongan Mujassimah yang menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya; dan ada golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang bersifat adil, lurus, dan istiqamah di atas Syariat Nabi Shallallah ‘Alaihi Wassalam.


MANHAJ PEMAHAMAN

Dibutuhkan kajian tersendiri untuk menjelaskan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah terkait dengan Sifat-Sifat Allah Ta’ala tersebut. Di bagian ini kita akan membahasnya secara ringkas saja. Bila ingin lebih jauh mengkaji, silakan merujuk kitab-kitab para ulama yang sudah masyhur. Semoga Allah Ar Rahmaan Ar Rahiim, memberikan kita taufik untuk menempuh jalan yang diridhai-Nya. Allahumma amin. Berikut ini beberapa prinsip yang mesti dipahami dengan baik :


Dalam Islam ada ujian keimanan. Hal ini harus benar-benar dipahami. Contoh ujian keimanan ialah dalam Al Qur’an ada ayat-ayat yang bersifat muhkam (jelas dan gamblang) dan bersifat mutasyabihaat (samar). [Lihat Surat Ali Imran: 7]. Termasuk di dalam Al Qur’an, Allah membuat perumpamaan berupa nyamuk atau selain itu [Lihat Surat Al Baqarah: 26]. Kalau hanya ingin memuaskan akal belaka, khawatir kita akan terjebak dalam ujian-ujian keimanan itu. Para ulama memberi kaidah yang mudah, antara lain: “Ayat mutasyabihat cara memahaminya dikembalikan kepada yang muhkam. Perkara-perkara furu’ dikembalikan kepada perkara ushul. Perkara yang zhanni (prasangka) dikembalikan kepada yang qath-i (sudah pasti). Begitu seterusnya.”

Di masa Rasulullah dan para Shahabat, tidak ada masalah terkait Sifat-Sifat Allah. Mereka menerima ajaran Wahyu dengan baik, dengan cara mengimani, memahami, serta mengamalkan dengan sebaik-baiknya. Sehingga generasi itu disebut oleh Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam: “Khairun naasi qarni” (sebaik-baik manusia ada di masaku). Mengapa mereka bisa seperti itu? Rahasianya, pemahaman mereka terhadap Al Qur’an dan As Sunnah bersifat integral (menyeluruh), tidak sepotong sepotong. Seringkali timbul masalah, ketika pemahaman kita parsial. Karena itu Al Qur’an memberikan patokan: “Ud-khulu fis silmi kaaffah, wa laa tattabi’u khuthuwatis syaitan, innahu lakum ‘aduwun mubin” (masuklah kalian ke dalam Islam secara kaaffah, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan, sebab ia adalah musuh yang nyata bagimu). [Al Baqarah: 208]. Dalam ayat ini kita diperintahkan masuk Islam secara kaaffah, sekaligus menjauhi jalan-jalan syaitan. Dapat diambil hikmah, bahwa memahami Islam secara sepotong-sepotong itu nantinya bisa terperangkap jalan-jalan syaitan (aliran sesat). Kaum Muslimin di zaman Salaf, ketika mereka mulai membuka diri terhadap ajaran-ajaran teologi asing (non Islam) seperti Yahudi, Nasrani, paganisme, filsafat Yunani, dll; saat itulah mulai muncul aliran-aliran sesat yang keliru dalam memahami Sifat-Sifat Allah Ta’ala. Aliran-aliran sesat itu umumnya memecah-belah konsep ajaran agama kita, sehingga pemahaman seorang Muslim menjadi tidak kaffah lagi.

Ketika memahami Sifat Allah, kita harus bisa membedakan antara Sifat Dzatiyah (Diri-Nya Allah) dan Sifat Fi’liyyah (Perbuatan Allah). Dua perkara ini harus dibedakan dengan jelas, jangan dicampur-adukkan. Sifat Dzatiyyah Allah Ta’ala berbeda dengan makhluk-Nya, dalam segala sisinya. Dalilnya sangat terkenal, “Laisa ka mitslihi syai’un wa huwas sami’ul bashir” (tidak ada satu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat). [Asy Syura: 11]. Juga disebutkan dalam Surat Al Ikhlas, “Wa lam yakun lahu kufuwan ahad” (tidak ada satu pun yang setara dengan-Nya). [Al Ikhlas: 4]. Kemudian ada Sifat Fi’liyyah (perbuatan Allah). Dalam masalah ini berlaku ketentuan seperti yang disebut dalam Surat Yaasin, “Innama amruhu idza arada syai’an an yaqula lahu kun fa yakun” (bahwasanya dalam urusan-Nya, kalau Dia menginginkan sesuatu, maka Dia akan berkata “jadilah”, maka jadilah itu). [Yaasin: 82]. Banyak orang sering mencampur-adukkan dua hal ini, sehingga kemudian salah dalam memahami. Ketika bicara tentang Sifat Dzatiyyah, mereka mengumpamakan Allah dengan makhluk-Nya, sehingga mereka tidak mau menerima bahwa Allah memiliki Sifat Tangan, Wajah, Jari, Ketinggian, dan sebagainya. Mereka berat untuk menerima hal itu, karena dalam persepsinya, Allah itu serupa dengan makhluk. Di sisi lain, ketika bicara tentang perbuatan Allah (amrullah), mereka mengingkari bahwa Allah bersemayam di atas Arasy, bahwa Allah turun ke langit dunia, bahwa Allah berbicara dengan Musa Alaihissalam, dan lain-lain. Padahal Allah sudah menegaskan, kalau dia menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menolaknya. Seperti disebut dalam sebuah doa, “Laa mani’a li maa a’thaita, wa laa mu’tiya li maa mana’ta” (tidak ada yang bisa menolak apa yang Engkau berikan. Dan tidak ada yang bisa menerima, apa yang Engkau halangi).

Mengimani Sifat Allah seperti yang disebutkan dalam Al Qur’an maupun Hadits Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam dengan apa adanya, tanpa tahrif (dipalingkan makna ke makna lain), takyif (mendeskripsikan bagaimana-Nya), tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), dan ta’thil (menolak Sifat-Sifat Allah). Dengan kata lain memilih metode ITS-BAT (menetapkan Sifat-Sifat Allah apa adanya sesuai makna lafadz-nya dalam bahasa Arab secara wajar). Dalilnya ialah kaidah yang disampaikan Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang Istiwa’. Kata beliau: “Al istiwa’u ma’lum, wa kaifuhu majhul, wa imanu bihi wajib, wa sualun fihi bid’ah” (Istiwa’ itu sudah maklum, sudah dipahami. Bagaimana cara Istiwa’, tidak diketahui. Mengimani Istiwa’ hukumnya wajib. Mempertanyakan masalah Istiwa’, hukumnya bid’ah). Kalimat ini sangat ringkas, namun memberikan makna yang sangat dalam dan jelas. Kaidah Imam Malik ini merupakan salah satu metode terbaik dari zaman Salafus Shalih.

Jika Allah menyebutkan dalam Al Qur’an atau Sunnah, tentang Sifat-Sifat tertentu seperti Wajah, Tangan, Jari, Istiwa’, Turun ke langit dunia, dll. maka kita tidak boleh sama sekali berburuk sangka kepada-Nya. Sebab semua Sifat-Sifat itu sesuai dengan Kebesaran, Kemuliaan, Kesucian, serta Kesempurnaan-Nya. Tidak ada satu pun Sifat Allah atau perbuatan-Nya yang mengandung aib. Semuanya Sempurna, Suci, Agung, dan Mulia. Dalilnya adalah, “Allahu laa ilaha illa huwa, lahul asma’ul husna” (Allah, tiada ilah yang haq selain Dia, bagi-Nya nama-nama yang baik dan mulia). [Thaha: 8]. Allah tidak boleh disifati dengan hal-hal negatif. Disebutkan dalam Al Qur’an, “Innallaha laa yazh-limu mits-qala dzarratin” (Allah tidak melakukan menzhalimi, meskipun hanya seberat debu pun). [An Nisaa’: 40]. Ayat-ayat seperti ini menjadi bagian dari dalil, bahwa Allah Maha Suci, Maha Sempurna, Maha Mulia; tidak boleh disematkan kepada-Nya sifat-sifat yang buruk atau mengandung aib.

Sebagian orang bertanya, adakah kaidah takwil ketika berbicara Sifat Allah? Jawabnya ada, namun bersifat terbatas, hanya pada persoalan-persoalan tertentu. Misalnya, dalam Al Qur’an atau Sunnah ada istilah Baitullah, Masajidillah, Sabilillah, Khalilullah, Mulkillah, dan yang semisal itu. Maka perkara-perkara yang diberi label Allah ini harus ditakwilkan. Alasannya, kalau diterima begitu saja, ia akan bertabrakan dengan pokok-pokok ajaran Islam yang sudah mapan. Misalnya, Baitullah. Ia tidak bisa diartikan sebagai “rumah tempat tinggal” Allah, sebab Dia tidak bertempat tinggal seperti makhluk-Nya. Maksud Baitullah disana, ialah rumah ibadah milik Allah. Begitu juga istilah, Sabilillah. Maksudnya tentu bukan “ruas jalan yang biasanya dilewati” Allah. Bukan demikian. Tetapi ia adalah jalan agama Allah, atau jalan Islam. Termasuk Khalilullah, itu maksudnya adalah hamba Allah yang sangat saleh sekali yang disayang oleh Allah (yaitu Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam). Jadi bukan “kekasih” atau “teman” Allah, sebab Dia tidak memiliki kekasih atau teman. Termasuk ketika ada ayat yang berbunyi, “Innallaha wa malaikatahu yushalluna ‘alan nabi” (sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Muhammad). Hal ini jelas harus ditakwilkan, sebab tidak mungkin Allah berdoa kepada sesuatu untuk memohonkan sentosa bagi Nabi Muhammad Shallallah ‘Alaiahi Wasallam; sebab kepada Allah itu sendirilah semua makhluk mengarahkan doa-doanya. Begitu juga ketika ada ayat yang berbunyi, “Kullu syai’in halikun illa wajhahu” (segala sesuatu binasa, kecuali Wajah-Nya). Maksudnya, segala sesuatu bisa binasa, selain diri Allah sendiri. Dalam ayat terakhir ini Allah menyebut Sifat Wajah untuk mewakili Diri-Nya secara keseluruhan. Ahli bahasa sering menyebut dengan istilah “ba’dhu min kulli” (sebagian mewakili keseluruhan). Kaidah dalam takwil antara lain sebagai berikut: a. Penakwilan berlaku dalam hal-hal tertentu, dimana jika tidak ditakwilkan, ia akan bertabrakan dengan pokok-pokok ajaran Islam yang sudah mapan; b. Penakwilan itu sendiri tidak boleh jauh dari lafadz aslinya. Ia tidak bisa dipalingkan jauh, sehingga keluar dari cakupan makna lafadz-nya; c. Penakwilan tidak boleh berakibat menghilangkan Sifat Allah atau mengingkari Sifat sesuai lafadz aslinya. Misalnya, istilah Masajidillah, “tempat-tempat bersujud” Allah. Maksudnya, adalah masjid-masjid milik Allah yang ada di muka bumi. Penakwilan istilah Masajidillah tidak keluar dari lafadz aslinya yaitu “tempat sujud” yang dihubungkan kepada Allah. Kita tidak boleh mengingkari bahwa Allah memiliki masjid-masjid di muka bumi yang dipakai hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya.

Harus dipahami dengan baik, bahwa dalam perkara Sifat-Sifat Allah ini ada ujian keimanan. Kita diuji, apakah mau menerima ayat-ayat Allah secara menyeluruh, atau di hati kita mempersyaratkan sesuatu sebelum mengimaninya? Kesempurnaan ilmu, iman, dan amal Islami akan tercapai saat kita bisa melewati ujian ini. Betapa banyak manusia, di zaman Salaf atau Khalaf, mereka tersesat dari jalan lurus karena tidak bisa melewati ujian-ujian ini. Sudah selayaknya kita memuji kepada Allah atas petunjuk-Nya, memohon bimbingan dan taufiq-Nya, serta memohon istiqamah di atas manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, sampai akhir hayat. Amin Allahumma amin.

Demikian yang bisa disampaikan. Semoga yang sederhana ini bermanfaat, bagi diri kami, para pembaca budiman, dan kaum Muslimin. Artikel ini sekaligus melengkapi tulisan-tulisan sebelumnya. Mohon dimaafkan atas segala salah dan kekurangan. Yang benar dari Allah semata, yang salah dari diri saya sendiri atau dari syaitan. Wal ‘afwu minkum ‘afwan katsira, walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.


Wallahu a’lam bisshawaab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama